bergerak

WISATA DUNIA

Minggu, 04 November 2012

MUSEUM SONOBUDOYO - Menikmati Koleksi Keris Nusantara

0 komentar

http://i560.photobucket.com/albums/ss44/erge32/RGsdbar.gif?imgmax=800)repeat;  

 

curuk cimahi

Mengunjungi Museum Sonobudoyo adalah salah satu alternatif bila ingin melihat beragam koleksi keris dari penjuru nusantara dan benda-benda yang berkaitan dengannya. Museum yang menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris (sebagian besar merupakan sumbangan Java Institut) ini akan mengobati kekecewaan anda, sebab Kraton Yogyakarta yang menyimpan keris-keris pusaka hingga kini tak memperbolehkan pengunjung menikmati koleksinya.
Museum Sonobudoyo dapat dijangkau dengan mudah dari Kraton Yogyakarta, berada di seberang Alun Alun Utara Yogyakarta. Untuk memasukinya, anda hanya perlu membayar tiket seharga Rp 3.000,00. Sementara, untuk melihat beragam koleksi keris, prosedurnya cukup sulit karena mesti meminta ijin pada pimpinan museum. Hal itu disebabkan karena banyak koleksi keris masih disimpan di ruang koleksi, belum ditampilkan untuk umum.
Benda pertama yang akan dijumpai berkaitan dengan keris adalah wesi budha, merupakan bahan baku pembuatan keris yang digunakan sekitar tahun 700-an Masehi, atau di jaman kejayaan Kerajaan Mataram Hindu. Wesi Budha tersebut bisa dilihat du ruangan tengah yang menyimpan sejumlah koleksi dari kejayaan peradaban Budha di Indonesia. Bersama wesi budha, tersimpan pula beragam peralatan rumah tangga, persenjataan dan kerajinan dari masa yang sama.
Masuk lebih ke dalam, anda bisa melihat beberapa koleksi keris, meski dalam jumlah yang relatif terbatas. Beberapa keris yang dipasang merupakan keris lurus, keris luk (secara sederhana merupakan tonjolan yang ada di sisi kanan dan kiri keris) 7, keris luk 11 dan keris luk 13. Umumnya, keris yang disimpan pada ruangan pameran yang bisa dilihat umum ini merupakan keris dari Jawa. Bersama koleksi keris itu, disimpan pula kain batik dengan beragam motif.
Koleksi keris yang lebih lengkap bisa dijumpai di ruang koleksi, berada di belakang ruang perpustakaan museum. Menurut penuturan petugas museum pada YogYES, ruang koleksi tersebut menyimpan beragam keris dari berbagai penjuru nusantara, koleksi aksesoris seperti pendok dari Yogyakarta dan Solo dan tangkai keris. Koleksi lebih banyak berasal dari luar Yogyakarta, sebab konon ada larangan untuk mengoleksi keris Yogyakarta melebihi koleksi Kraton.
Keris-keris Jawa yang disimpan berupa keris luk 7, 11, 13 dan keris lurus dengan pamor yang beranekja ragam, seperti beras wutah (pamor yang tak disengaja muncul karena penempaan, berupa pusar yang menyambung), sekar pakis (berbentuk bunga pakis) dan sebagainya. Keris-keris dari luar Jawa yang disimpan antara lain rencong khas Aceh, mandau dari Kalimantan, keris-keris Madura dan Bali, serta keris dari Sulawesi.
Di ruangan koleksi tersebut, anda juga bisa melihat beragam tangkai keris tua yang didesain menarik. Terdapat tangkai keris yang berbentuk kepala manusia, manusia utuh, ular naga, singa dan sebagainya. Terdapat pula sejumlah pendok yang jumlahnya ratusan, terbagi dalam dua gaya yaitu Yogyakarta dan Solo. Tak seperti tangkai keris yang memiliki beragam desain, pendok keris memiliki bentuk yang relatif seragam.
Jumlah koleksi yang mencapai ribuan tentu akan menebus sulitnya menjangkau ruangan koleksi ini. Menurut penuturan petugas museum pada YogYES, seluruh keris yang ada di ruangan koleksi itu akan dipajang di ruangan pameran yang akan dibuat beberapa waktu ke depan. Mungkin saja saat berkunjung nanti, anda sudah dapat melihat seluruh koleksi tanpa ijin.

http://i560.photobucket.com/albums/ss44/erge32/RGsdbar.gif?imgmax=800)repeat;  

 

curuk cimahi

Mengunjungi Museum Sonobudoyo adalah salah satu alternatif bila ingin melihat beragam koleksi keris dari penjuru nusantara dan benda-benda yang berkaitan dengannya. Museum yang menyimpan sekitar 1200-an koleksi keris (sebagian besar merupakan sumbangan Java Institut) ini akan mengobati kekecewaan anda, sebab Kraton Yogyakarta yang menyimpan keris-keris pusaka hingga kini tak memperbolehkan pengunjung menikmati koleksinya.
Museum Sonobudoyo dapat dijangkau dengan mudah dari Kraton Yogyakarta, berada di seberang Alun Alun Utara Yogyakarta. Untuk memasukinya, anda hanya perlu membayar tiket seharga Rp 3.000,00. Sementara, untuk melihat beragam koleksi keris, prosedurnya cukup sulit karena mesti meminta ijin pada pimpinan museum. Hal itu disebabkan karena banyak koleksi keris masih disimpan di ruang koleksi, belum ditampilkan untuk umum.
Benda pertama yang akan dijumpai berkaitan dengan keris adalah wesi budha, merupakan bahan baku pembuatan keris yang digunakan sekitar tahun 700-an Masehi, atau di jaman kejayaan Kerajaan Mataram Hindu. Wesi Budha tersebut bisa dilihat du ruangan tengah yang menyimpan sejumlah koleksi dari kejayaan peradaban Budha di Indonesia. Bersama wesi budha, tersimpan pula beragam peralatan rumah tangga, persenjataan dan kerajinan dari masa yang sama.
Masuk lebih ke dalam, anda bisa melihat beberapa koleksi keris, meski dalam jumlah yang relatif terbatas. Beberapa keris yang dipasang merupakan keris lurus, keris luk (secara sederhana merupakan tonjolan yang ada di sisi kanan dan kiri keris) 7, keris luk 11 dan keris luk 13. Umumnya, keris yang disimpan pada ruangan pameran yang bisa dilihat umum ini merupakan keris dari Jawa. Bersama koleksi keris itu, disimpan pula kain batik dengan beragam motif.
Koleksi keris yang lebih lengkap bisa dijumpai di ruang koleksi, berada di belakang ruang perpustakaan museum. Menurut penuturan petugas museum pada YogYES, ruang koleksi tersebut menyimpan beragam keris dari berbagai penjuru nusantara, koleksi aksesoris seperti pendok dari Yogyakarta dan Solo dan tangkai keris. Koleksi lebih banyak berasal dari luar Yogyakarta, sebab konon ada larangan untuk mengoleksi keris Yogyakarta melebihi koleksi Kraton.
Keris-keris Jawa yang disimpan berupa keris luk 7, 11, 13 dan keris lurus dengan pamor yang beranekja ragam, seperti beras wutah (pamor yang tak disengaja muncul karena penempaan, berupa pusar yang menyambung), sekar pakis (berbentuk bunga pakis) dan sebagainya. Keris-keris dari luar Jawa yang disimpan antara lain rencong khas Aceh, mandau dari Kalimantan, keris-keris Madura dan Bali, serta keris dari Sulawesi.
Di ruangan koleksi tersebut, anda juga bisa melihat beragam tangkai keris tua yang didesain menarik. Terdapat tangkai keris yang berbentuk kepala manusia, manusia utuh, ular naga, singa dan sebagainya. Terdapat pula sejumlah pendok yang jumlahnya ratusan, terbagi dalam dua gaya yaitu Yogyakarta dan Solo. Tak seperti tangkai keris yang memiliki beragam desain, pendok keris memiliki bentuk yang relatif seragam.
Jumlah koleksi yang mencapai ribuan tentu akan menebus sulitnya menjangkau ruangan koleksi ini. Menurut penuturan petugas museum pada YogYES, seluruh keris yang ada di ruangan koleksi itu akan dipajang di ruangan pameran yang akan dibuat beberapa waktu ke depan. Mungkin saja saat berkunjung nanti, anda sudah dapat melihat seluruh koleksi tanpa ijin.
»»  READMORE...

TUGU JOGJA - Landmark Kota Jogja yang Paling Terkenal

0 komentar

Tugu Jogja, Landmark Kota Jogja yang Paling Terkenal


Tugu Jogja merupakan landmark Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.
Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.
Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.
Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.
Bila anda ingin memandang Tugu Jogja sepuasnya sambil mengenang makna filosofisnya, tersedia bangku yang menghadap ke tugu di pojok Jl. Pangeran Mangkubumi. Pukul 05.00 - 06.00 pagi hari merupakan saat yang tepat, saat udara masih segar dan belum banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang. Sesekali mungkin anda akan disapa dengan senyum ramah loper koran yang hendak menuju kantor sirkulasi harian Kedaulatan Rakyat.
Sore hingga tengah malam, ada penjual gudeg (masakan khas Yogyakarta) di pojok Jl. Diponegoro. Gudeg di sini terkenal enak dan harganya wajar. Anda bisa makan secara lesehan sambil menikmati pemandangan ke arah Tugu Jogja yang sedang bermandikan cahaya.
Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota Yogyakarta, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau mencium Tugu Jogja. Mungkin hal itu juga sebagai ungkapan sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu saat nanti ia pasti akan mengunjungi kota tercinta ini lagi.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2007 YogYES.COM

Tugu Jogja, Landmark Kota Jogja yang Paling Terkenal


Tugu Jogja merupakan landmark Kota Yogyakarta yang paling terkenal. Monumen ini berada tepat di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji dan Jalan Diponegoro. Tugu Jogja yang berusia hampir 3 abad memiliki makna yang dalam sekaligus menyimpan beberapa rekaman sejarah kota Yogyakarta.
Tugu Jogja kira-kira didirikan setahun setelah Kraton Yogyakarta berdiri. Pada saat awal berdirinya, bangunan ini secara tegas menggambarkan Manunggaling Kawula Gusti, semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajahan. Semangat persatuan atau yang disebut golong gilig itu tergambar jelas pada bangunan tugu, tiangnya berbentuk gilig (silinder) dan puncaknya berbentuk golong (bulat), sehingga disebut Tugu Golong-Gilig.
Secara rinci, bangunan Tugu Jogja saat awal dibangun berbentuk tiang silinder yang mengerucut ke atas. Bagian dasarnya berupa pagar yang melingkar sementara bagian puncaknya berbentuk bulat. Ketinggian bangunan tugu pada awalnya mencapai 25 meter.
Semuanya berubah pada tanggal 10 Juni 1867. Gempa yang mengguncang Yogyakarta saat itu membuat bangunan tugu runtuh. Bisa dikatakan, saat tugu runtuh ini merupakan keadaan transisi, sebelum makna persatuan benar-benar tak tercermin pada bangunan tugu.
Keadaan benar-benar berubah pada tahun 1889, saat pemerintah Belanda merenovasi bangunan tugu. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi dihiasi semacam prasasti yang menunjukkan siapa saja yang terlibat dalam renovasi itu. Bagian puncak tugu tak lagi bulat, tetapi berbentuk kerucut yang runcing. Ketinggian bangunan juga menjadi lebih rendah, hanya setinggi 15 meter atau 10 meter lebih rendah dari bangunan semula. Sejak saat itu, tugu ini disebut juga sebagai De Witt Paal atau Tugu Pal Putih.
Perombakan bangunan itu sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk mengikis persatuan antara rakyat dan raja. Namun, melihat perjuangan rakyat dan raja di Yogyakarta yang berlangsung sesudahnya, bisa diketahui bahwa upaya itu tidak berhasil.
Bila anda ingin memandang Tugu Jogja sepuasnya sambil mengenang makna filosofisnya, tersedia bangku yang menghadap ke tugu di pojok Jl. Pangeran Mangkubumi. Pukul 05.00 - 06.00 pagi hari merupakan saat yang tepat, saat udara masih segar dan belum banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang. Sesekali mungkin anda akan disapa dengan senyum ramah loper koran yang hendak menuju kantor sirkulasi harian Kedaulatan Rakyat.
Sore hingga tengah malam, ada penjual gudeg (masakan khas Yogyakarta) di pojok Jl. Diponegoro. Gudeg di sini terkenal enak dan harganya wajar. Anda bisa makan secara lesehan sambil menikmati pemandangan ke arah Tugu Jogja yang sedang bermandikan cahaya.
Begitu identiknya Tugu Jogja dengan Kota Yogyakarta, membuat banyak mahasiswa perantau mengungkapkan rasa senangnya setelah dinyatakan lulus kuliah dengan memeluk atau mencium Tugu Jogja. Mungkin hal itu juga sebagai ungkapan sayang kepada Kota Yogyakarta yang akan segera ditinggalkannya, sekaligus ikrar bahwa suatu saat nanti ia pasti akan mengunjungi kota tercinta ini lagi.
Naskah: Yunanto Wiji Utomo
Photo & Artistik: Agung Sulistiono Mabruron
Copyright © 2007 YogYES.COM

»»  READMORE...

SASANA WIRATAMA - Mengenang Perjuangan Pangeran Diponegoro

0 komentar

SASANA WIRATAMA - Mengenang Perjuangan Pangeran Diponegoro

20 Juli 1825
Puri Kediaman Pangeran Diponegoro, Tegal Rejo

Dari luar tembok terdengar letusan senjata tiga kali, perang telah dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Belanda. Laskar yang tinggal di sisi barat melakukan perlawanan keras. Di bawah pimpinan Joyomustopo dan Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan berbeda jauh. Seorang pria berjubah putih dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, dengan tenang dan bijaksana memilih menjebol tembok barat puri. Dengan beberapa kali gebrakan tembok itu jebol. Satu komando untuk menyelamatkan keluarga dan laskar yang tersisa. Dengan seluruh pasukannya, pria berjubah putih itu lebih memilih menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan keluarga dan laskarnya.
"Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai" batinnya dalam hati.

Lahir di Kraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785, bernama kecil Bandoro Raden Mas Ontowiryo dan setelah dewasa bergelar Kanjeng Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Raden Ayu Mangkorowati (putri Bupati Pacitan) selir dari Sri Sultan Hamengku Buwono III (HB III).
Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan kesetaraan dengan rakyat, sehingga Beliau lebih memilih tinggal di Desa Tegalrejo.

Perang Jawa

Pada masa kepemimpinan HB V (1822), Pangeran Diponegoro tidak menyetujui jika sistem pemerintahan dipegang oleh Patih Danurejo bersama Reserse Belanda. Pemberontakan ini memuncak pada tahun 1825, setelah Belanda membuat jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melewati halaman rumah Beliau (sekarang rel kereta api). Belanda yang tidak meminta izin kepada Pangeran mendapatkan perlawanan dari Pangeran dan laskarnya. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Sementara Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran.
Di Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, menjadi basis Pangeran Diponegoro untuk menyusun strategi gerilya melawan Belanda. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur.
Perang Diponegoro yang dalam buku-buku sejarah karangan penulis Belanda disebut Java Oorlog (Perang Jawa), berlangsung hingga tahun 1830. Dalam perang ini, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara serta menghabiskan dana hingga 20 juta gulden.

Sejarah Pembuatan Sasana Wiratama

Terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Jogja, tanah seluas 2,5 hektar yang awalnya dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, diserahkan oleh ahli waris Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Kanjangteng Diponegoro, untuk dijadikan Monumen setelah menandatangani surat penyerahan bersama Nyi Hadjar Dewantara dan Kanjeng Raden Tumenggung Purejodiningrat. Di atas tanah yang kini menjadi milik Kraton Yogyakarta itu mulai pertengahan tahun 1968 hingga 19 agustus 1969 dibangun sebuah monumen pada bangunan pringgitan yang menyatu dengan pendopo tepat di tengah komplek yang diprakarsai oleh Mayjen Surono yang saat itu menjabat Panglima Kodam (PANGDAM) serta diresmikan oleh Presiden Suharto. Tempat ini kemudian dinamakan Sasana Wiratama yang artinya tempat prajurit.
Monumen Pangeran Diponegoro merupakan pahatan relief pada dinding pringgitan dengan panjang 20 meter dan tinggi 4 meter, menceritakan keadaan Desa Tegalrejo yang damai dan tentram, perang Pangeran Diponegoro melawan Pemerintahan Belanda hingga tertangkap di Magelang. Monumen ini dipahat oleh seniman patung Drs. Saptoto dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), dibantu Sutopo, Sokodiharjo, dan Askabul. Di kedua sisi monumen terdapat terdapat lukisan diri Pangeran di sebelah barat dan lukisan Pangeran sedang menunggang kuda hitam siap untuk berperang di sebelah timur.
Melewati gerbang utama, berputar ke arah barat, pendopo dikelilingi oleh museum, tembok jebol, mess dan perpustakaan. Bangunan tambahan selain pendopo termasuk gerbang dibuat pada tahun 1970 hingga 1973 dipimpin Alm. Mayjen Widodo. Sedangkan tembok jebol merupakan peninggalan Pangeran Diponegoro beserta sebuah Padasan (tempat berwudlu Pangeran) yang terletak di depan pendopo serta Batu Comboran (tempat makan dan minum kuda-kuda Pangeran) di bagian tenggara pendopo.
Di depan bangunan yang terletak di jalan H.O.S Cokroaminoto di Desa Tegalrejo, terdapat patung Letjen Urip Soemohardjo yang bertuliskan "Orde. Contre-Ordre. Desordre!" pada sisi timur serta Panglima Besar Jenderal Sudirman bertuliskan "Jangan Lengah" di sisi barat. Patung ini hanya perlambang sebagai suatu tempat untuk mengenang perjuangan Bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Setelah melewati gerbang terdapat sebuah dinding setinggi dua setengah meter lebih berbentuk seperti kubah mesjid di bagian atas bergambar sesosok raksasa melawan seekor naga. "Gambar tersebut bermakna Butho Mekso Basuki ning Bawono yang merupakan Suryo Sengkolo Memet, sengkalan yang memakai gambar" tutur Pak Budiman pada YogYES. Setiap Sengkalan yang telah diketahui artinya dibaca secara terbalik. Sengkalan yang berarti 5281 ini mempunyai makna 1825 sebagai tanda pecahnya perang Pangeran Diponegoro.

Barang-Barang Peninggalan

Koleksi Museum Diponegoro berjumlah 100 buah, yang terdiri dari berbagai senjata asli laskar Diponegoro mulai dari senjata perang, koin, batu akik hingga alat rumah tangga. Berbagai senjata seperti tombak, keris, pedang, panah, "bandil" (semacam martil yang terbuat dari besi), "patrem" (senjata prajurit perempuan), hingga "candrasa" (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yang biasa digunakan "telik sandi" (mata-mata) perempuan. Sedangkan sejumlah alat rumah tangga buatan tahun 1700-an yang terbuat dari kuningan terdiri dari tempat sirih dan "kecohan"-nya (tempat mebuang ludah), tempat "canting" (alat untuk membatik), teko "bingsing", bokor hingga berbagai bentuk "kacip" (alat membelah pinang untuk makan sirih).
Di museum ini juga tersimpan dua senjata keramat, yaitu sebuah keris dengan lekukan 21 bernama Kyai Omyang, buatan seornag empu yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit dan pedang yang berasal dari Kerajaan Demak. Kedua senjata tersebut dipercaya dapat menolak bala.
Selain itu juga terdapat sebuah patung Ganesha berukuran kecil, tali Kuda untuk menarik kereta kuda pemberian HB VIII, sepasang patung Loro Blonyo serta sepasang lampu hias. Di dalam pendopo bisa dilihat seperangkat alat gamelan milik HB II buatan tahun 1752 berupa ketipung (gendang kecil) dan wilahan boning penembung yang terbuat dari kayu dan perunggu berwarna merah dan kuning. Seluruh "wilahan" atau besinya masih asli, hanya kayu gamelan saja yang sudah diganti karena lapuk termakan usia. Juga terdapat sepasang meriam di depan serta satu meriam di sebelah timur pendopo.
Selain tembok jebol, Padasan dan Batu Comboran, peninggalan pangeran lainnya terdapat di Magelang (Kitab Al Qur'an, Cangkir dan Teko, Jubah Pangeran serta Empat Kursi Satu Meja), di Museum Satria Mandala Jakarta (Pelana Kuda dan Tombak) serta sebuah keris milik Pangeran yang belum dikembalikan dan masih disimpan di Belanda.

Kepergian Seorang Pejuang Besar

Setelah perang selama lima tahun dan menderita kerugian besar serta menjajikan imbalan 50.000 gulden bagi yang bisa menagkap Pangeran Diponegoro, Belanda belum juga mampu membekuk Pangeran.
  • 16 Februari 1830, Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro di Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, untuk mengajak berunding di Magelang. Usul ini disetujui Pangeran.
  • Pada Tanggal 28 Maret 1830, bersama laskarnya, Pangeran Diponegoro menemui Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock. Pada pertemuan tersebut De Kock memaksa Pangeran untuk menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Pangeran. Tetapi Belanda, melalui Kolonel Du Perron telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Pangeran dan seluruh laskarnya berhasil dilumpuhkan. Hari itu juga Pangeran diasingkan ke Ungaran kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang.
  • Pada tanggal 5 April 1830 dibawa ke Batavia menggunakan Kapal Pollux.
  • 11 April 1830 sesampainya di Batavia, beliau ditahan di Stadhuis (sekarang Gedung Museum Fatahillah).
  • 30 April 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan atas Pangeran Diponegoro, Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng juga Nyai Sotaruno ke Manado.
  • 3 Mei 1830, rombongan Pangeran diberangkatkan dengan Kapal Pollux dan ditawan di Benteng Amsterdam. Belanda yang merasa Pangeran masih menjadi ancaman, karena di tempat ini masih bisa melakukan komunikasi dengan rakyat.
  • Pada tahun 1834 diasingkan secara terpisah. Pangeran bersama Retnaningsih diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan di tahan di Benteng Roterdam dalam pengawasan ketat.
  • Di benteng ini, Pangeran tidak lagi bebas bergerak. Menghabiskan hari-harinya bersama Retnaningsih, Pangeran Diponegoro akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 Januari 1855. Jasad beliau disemayamkan di Kampung Melayu Makassar, berdampingan dengan makam Retnaningsih.
Setelah 151 tahun, kepergian Beliau tetap menjadi sebuah kehilangan besar bagi Bangsa Indonesia. Sebuah semangat perjuangan tanpa kenal kata menyerah.
Mengenang seorang pejuang besar bangsa bisa dengan berbagai cara. Tapi bila ingin merasakan lebih dekat bagaimana semangat perlawanan Pangeran Diponegoro, sebuah tembok jebol akan menjadi saksi bisu yang akan bercerita. Sebuah tembok yang digempur dengan tangan kosong hingga berlubang. Pemandangan yang tidak biasa tentunya, dan ini hanya ada di Sasana Wiratama.(YogYES.COM: R.Syah)
Museum Sasana Wiratama / Monumen Diponegoro
Jl. HOS Cokroaminoto TR.III/430 Tegalrejo, Yogyakarta
Phone: +62 274 622668.
Jadwal Kunjungan:
Hari Senin s/d Sabtu: Pukul 08.00 s/d 13.00
Hari Minggu: Tutup
Biaya Masuk: Sukarela

SASANA WIRATAMA - Mengenang Perjuangan Pangeran Diponegoro

20 Juli 1825
Puri Kediaman Pangeran Diponegoro, Tegal Rejo

Dari luar tembok terdengar letusan senjata tiga kali, perang telah dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Belanda. Laskar yang tinggal di sisi barat melakukan perlawanan keras. Di bawah pimpinan Joyomustopo dan Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan berbeda jauh. Seorang pria berjubah putih dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, dengan tenang dan bijaksana memilih menjebol tembok barat puri. Dengan beberapa kali gebrakan tembok itu jebol. Satu komando untuk menyelamatkan keluarga dan laskar yang tersisa. Dengan seluruh pasukannya, pria berjubah putih itu lebih memilih menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan keluarga dan laskarnya.
"Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai" batinnya dalam hati.

Lahir di Kraton Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785, bernama kecil Bandoro Raden Mas Ontowiryo dan setelah dewasa bergelar Kanjeng Pangeran Diponegoro merupakan putra sulung Raden Ayu Mangkorowati (putri Bupati Pacitan) selir dari Sri Sultan Hamengku Buwono III (HB III).
Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan kesetaraan dengan rakyat, sehingga Beliau lebih memilih tinggal di Desa Tegalrejo.

Perang Jawa

Pada masa kepemimpinan HB V (1822), Pangeran Diponegoro tidak menyetujui jika sistem pemerintahan dipegang oleh Patih Danurejo bersama Reserse Belanda. Pemberontakan ini memuncak pada tahun 1825, setelah Belanda membuat jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melewati halaman rumah Beliau (sekarang rel kereta api). Belanda yang tidak meminta izin kepada Pangeran mendapatkan perlawanan dari Pangeran dan laskarnya. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.
Sementara Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran.
Di Goa Selarong yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, menjadi basis Pangeran Diponegoro untuk menyusun strategi gerilya melawan Belanda. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur.
Perang Diponegoro yang dalam buku-buku sejarah karangan penulis Belanda disebut Java Oorlog (Perang Jawa), berlangsung hingga tahun 1830. Dalam perang ini, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara serta menghabiskan dana hingga 20 juta gulden.

Sejarah Pembuatan Sasana Wiratama

Terletak sekitar 4 kilometer dari pusat kota Jogja, tanah seluas 2,5 hektar yang awalnya dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, diserahkan oleh ahli waris Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Kanjangteng Diponegoro, untuk dijadikan Monumen setelah menandatangani surat penyerahan bersama Nyi Hadjar Dewantara dan Kanjeng Raden Tumenggung Purejodiningrat. Di atas tanah yang kini menjadi milik Kraton Yogyakarta itu mulai pertengahan tahun 1968 hingga 19 agustus 1969 dibangun sebuah monumen pada bangunan pringgitan yang menyatu dengan pendopo tepat di tengah komplek yang diprakarsai oleh Mayjen Surono yang saat itu menjabat Panglima Kodam (PANGDAM) serta diresmikan oleh Presiden Suharto. Tempat ini kemudian dinamakan Sasana Wiratama yang artinya tempat prajurit.
Monumen Pangeran Diponegoro merupakan pahatan relief pada dinding pringgitan dengan panjang 20 meter dan tinggi 4 meter, menceritakan keadaan Desa Tegalrejo yang damai dan tentram, perang Pangeran Diponegoro melawan Pemerintahan Belanda hingga tertangkap di Magelang. Monumen ini dipahat oleh seniman patung Drs. Saptoto dari Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), dibantu Sutopo, Sokodiharjo, dan Askabul. Di kedua sisi monumen terdapat terdapat lukisan diri Pangeran di sebelah barat dan lukisan Pangeran sedang menunggang kuda hitam siap untuk berperang di sebelah timur.
Melewati gerbang utama, berputar ke arah barat, pendopo dikelilingi oleh museum, tembok jebol, mess dan perpustakaan. Bangunan tambahan selain pendopo termasuk gerbang dibuat pada tahun 1970 hingga 1973 dipimpin Alm. Mayjen Widodo. Sedangkan tembok jebol merupakan peninggalan Pangeran Diponegoro beserta sebuah Padasan (tempat berwudlu Pangeran) yang terletak di depan pendopo serta Batu Comboran (tempat makan dan minum kuda-kuda Pangeran) di bagian tenggara pendopo.
Di depan bangunan yang terletak di jalan H.O.S Cokroaminoto di Desa Tegalrejo, terdapat patung Letjen Urip Soemohardjo yang bertuliskan "Orde. Contre-Ordre. Desordre!" pada sisi timur serta Panglima Besar Jenderal Sudirman bertuliskan "Jangan Lengah" di sisi barat. Patung ini hanya perlambang sebagai suatu tempat untuk mengenang perjuangan Bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Setelah melewati gerbang terdapat sebuah dinding setinggi dua setengah meter lebih berbentuk seperti kubah mesjid di bagian atas bergambar sesosok raksasa melawan seekor naga. "Gambar tersebut bermakna Butho Mekso Basuki ning Bawono yang merupakan Suryo Sengkolo Memet, sengkalan yang memakai gambar" tutur Pak Budiman pada YogYES. Setiap Sengkalan yang telah diketahui artinya dibaca secara terbalik. Sengkalan yang berarti 5281 ini mempunyai makna 1825 sebagai tanda pecahnya perang Pangeran Diponegoro.

Barang-Barang Peninggalan

Koleksi Museum Diponegoro berjumlah 100 buah, yang terdiri dari berbagai senjata asli laskar Diponegoro mulai dari senjata perang, koin, batu akik hingga alat rumah tangga. Berbagai senjata seperti tombak, keris, pedang, panah, "bandil" (semacam martil yang terbuat dari besi), "patrem" (senjata prajurit perempuan), hingga "candrasa" (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yang biasa digunakan "telik sandi" (mata-mata) perempuan. Sedangkan sejumlah alat rumah tangga buatan tahun 1700-an yang terbuat dari kuningan terdiri dari tempat sirih dan "kecohan"-nya (tempat mebuang ludah), tempat "canting" (alat untuk membatik), teko "bingsing", bokor hingga berbagai bentuk "kacip" (alat membelah pinang untuk makan sirih).
Di museum ini juga tersimpan dua senjata keramat, yaitu sebuah keris dengan lekukan 21 bernama Kyai Omyang, buatan seornag empu yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit dan pedang yang berasal dari Kerajaan Demak. Kedua senjata tersebut dipercaya dapat menolak bala.
Selain itu juga terdapat sebuah patung Ganesha berukuran kecil, tali Kuda untuk menarik kereta kuda pemberian HB VIII, sepasang patung Loro Blonyo serta sepasang lampu hias. Di dalam pendopo bisa dilihat seperangkat alat gamelan milik HB II buatan tahun 1752 berupa ketipung (gendang kecil) dan wilahan boning penembung yang terbuat dari kayu dan perunggu berwarna merah dan kuning. Seluruh "wilahan" atau besinya masih asli, hanya kayu gamelan saja yang sudah diganti karena lapuk termakan usia. Juga terdapat sepasang meriam di depan serta satu meriam di sebelah timur pendopo.
Selain tembok jebol, Padasan dan Batu Comboran, peninggalan pangeran lainnya terdapat di Magelang (Kitab Al Qur'an, Cangkir dan Teko, Jubah Pangeran serta Empat Kursi Satu Meja), di Museum Satria Mandala Jakarta (Pelana Kuda dan Tombak) serta sebuah keris milik Pangeran yang belum dikembalikan dan masih disimpan di Belanda.

Kepergian Seorang Pejuang Besar

Setelah perang selama lima tahun dan menderita kerugian besar serta menjajikan imbalan 50.000 gulden bagi yang bisa menagkap Pangeran Diponegoro, Belanda belum juga mampu membekuk Pangeran.
  • 16 Februari 1830, Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro di Remo Kamal, Bagelan, Purworejo, untuk mengajak berunding di Magelang. Usul ini disetujui Pangeran.
  • Pada Tanggal 28 Maret 1830, bersama laskarnya, Pangeran Diponegoro menemui Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock. Pada pertemuan tersebut De Kock memaksa Pangeran untuk menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Pangeran. Tetapi Belanda, melalui Kolonel Du Perron telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Pangeran dan seluruh laskarnya berhasil dilumpuhkan. Hari itu juga Pangeran diasingkan ke Ungaran kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang.
  • Pada tanggal 5 April 1830 dibawa ke Batavia menggunakan Kapal Pollux.
  • 11 April 1830 sesampainya di Batavia, beliau ditahan di Stadhuis (sekarang Gedung Museum Fatahillah).
  • 30 April 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch menjatuhkan hukuman pengasingan atas Pangeran Diponegoro, Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng juga Nyai Sotaruno ke Manado.
  • 3 Mei 1830, rombongan Pangeran diberangkatkan dengan Kapal Pollux dan ditawan di Benteng Amsterdam. Belanda yang merasa Pangeran masih menjadi ancaman, karena di tempat ini masih bisa melakukan komunikasi dengan rakyat.
  • Pada tahun 1834 diasingkan secara terpisah. Pangeran bersama Retnaningsih diasingkan ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan di tahan di Benteng Roterdam dalam pengawasan ketat.
  • Di benteng ini, Pangeran tidak lagi bebas bergerak. Menghabiskan hari-harinya bersama Retnaningsih, Pangeran Diponegoro akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 Januari 1855. Jasad beliau disemayamkan di Kampung Melayu Makassar, berdampingan dengan makam Retnaningsih.
Setelah 151 tahun, kepergian Beliau tetap menjadi sebuah kehilangan besar bagi Bangsa Indonesia. Sebuah semangat perjuangan tanpa kenal kata menyerah.
Mengenang seorang pejuang besar bangsa bisa dengan berbagai cara. Tapi bila ingin merasakan lebih dekat bagaimana semangat perlawanan Pangeran Diponegoro, sebuah tembok jebol akan menjadi saksi bisu yang akan bercerita. Sebuah tembok yang digempur dengan tangan kosong hingga berlubang. Pemandangan yang tidak biasa tentunya, dan ini hanya ada di Sasana Wiratama.(YogYES.COM: R.Syah)
Museum Sasana Wiratama / Monumen Diponegoro
Jl. HOS Cokroaminoto TR.III/430 Tegalrejo, Yogyakarta
Phone: +62 274 622668.
Jadwal Kunjungan:
Hari Senin s/d Sabtu: Pukul 08.00 s/d 13.00
Hari Minggu: Tutup
Biaya Masuk: Sukarela

»»  READMORE...

next

next page

Followers

 

info perjalanan wisata. Copyright 2012 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Free Blogger Templates Converted into Blogger Template by Bloganol dot com